Wednesday, December 26, 2007

TSUNAMI

Warga Aceh memang istimewa

Saat dalam perjalanan dan bertugas di kawasan bencana tsunami, saya selalu terheran-heran dengan cara warga yang selamat menghadapi bencana yang menimbulkan berbagai dampak yang sangat menghancurkan ini.

Ada banyak cerita tentang orang-orang yang kehilangan seluruh anggota keluarga mereka - ayah, ibu, saudara dan sepupu. Bahkan ada yang mengatakan mereka kehilangan 72 kerabat.

Bantuan sulit menjangkau daerah terpencil di Aceh

Bantuan sulit menjangkau daerah terpencil di Aceh

Anda mungkin mengira ini akan menyebabkan orang remuk redam secara fisik dan psikologis. Tapi, di Aceh, orang tampak telah menerima kehilangan itu dengan menyibukkan diri dengan membangun kembali kehidupan mereka.

Saya tiba di Aceh, Indonesia, sekitar pertengahan Januari. Sebagian besar tugas berat untuk mengevakuasi mayat telah dilaksanakan. Namun, pembersihan puing-puing dan pembangunan kembali jalan akan memerlukan waktu beberapa bulan, bahkan bertahun-tahun.

Holocaust

Saat melakukan perjalanan dengan perahu, helikopter dan sepeda motor, saya mengunjungi masyarakat dan proyek di beberapa tempat di sepanjang pantai barat, tempat saya menemukan skala kehancuran sulit diterima nalar.

Orang hanya bisa mempersamakannya dengan holocaust pasca-nuklir. Tanah, yang dulungnya sangat indah mencengangkan, kini rata, dengann warna abu-abu dan coklat pucat. Pohon, rumah, dan jembatan, sekolah dan klinik runtuh dalam beberapa detik.

Tapi, saat saya bertandang, dan mencoba untuk membantu mereka yang selama untuk bangkit kembali, saya menemukan orang-orang yang bertekad kuat dan menjadi sumber inspirasi.

Seorang kawan, Safrizal, yang kini relawan bantuan, mengajak saya menemui keluarganya di rumah baru mereka, sebuah pondokan yang dibangun dari kayu bekas di atas sebuah bukit kecil yang berada di atas bekas lokasi kota mereka.

Bukit itu kini menjadi kampung halaman sementara bagi beberapa ribu warga yang lolos dari tsunami.

Sebagian besar anggota keluarga Safrizal selamat, sebab dia cepat-cepat mengungsikan mereka ke atas bukit. Safrizal mengatakan dia pernah mengikuti lokakarya "kesiapsiagaan bencana" yang juga menyinggung tsunami. Ini contoh bagaimana informasi kecil bisa membawa manfaat besar.

Namun, adalah tekad beberapa kelompok relawan muda dari berbagai tempat di Indonesia, yang melibatkan diri dalam berbagai proyek kesehatan, air bersih, sanitasi, atau logistik, yang paling menggugah saya.

Dalam banyak hal, kelompok-kelompok itu merupakan organisasi lokal yang sangat efisien. Mereka melakukan banyak sekali pekerjaan dengan sumber daya yang terbatas. Saya meluang waktu untuk mempelajari pekerjaan mereka, dan kemudian merintis kerjasama antara organisasi mereka dengan Merlin untuk mendukung proyek mereka dan merencanakan proyek baru lain.

Anak-anak Aceh kembali belajar untuk menari, tertawa dan bermain

Mengatasi trauma

Sebuah kelompok dari Jakarta yang dinamai Ibu menggelar pelajaran tari, nyanyi dan drama untuk anak-anak di kamp pengungsi. Gagasan ini sederhana, tapi luar biasa efektif.

Bayangkan: anak-anak yang telah menyaksikan dunia dijungkirbalikkan, kini bisa tertawa dan kembali bersemangat untuk bermain.

Di mana-mana saya pergi, saya lihat orang menghadapi masa depan yang tidak menentu, kehilangan rumah mereka, harta benda, dan sumber nafkah, dan belum lagi kehilangan banyak anggota keluarga mereka.

Bagaimana mereka pastinya akan memulai lagi semuanya? Inilah pertanyaan menggamangkan yang menghadang banyak orang, pemerintah daerah dan berbagai organisasi kemasyarakatan.

Pemerintah tengah membangun kembali infrastruktur seperti jalan, jembatan dan telekomunikasi, dan telah mendanai pembangunan lebih dari 140 lokasi barak, untuk menampung sekitar 100 ribu orang yang saat ini tinggal di tenda-tenda.

Bantuan memang segera datang, tapi orang kini harus mulai membangun kembali hidup mereka.

Merintis kembali

Titian sementara dibangun di bekas jembatan beton

Ini adalah awal yang bagus. Tapi, langkah ini baru menanggapi kebutuhan fisik mendesak.

Mereka yang selamat memiliki beragam kebutuhan yang kompleks: pendapatan, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, pelatihan dan seterusnya. Kunci pada tahap ini adalah pilihan yang tersedia.

Mereka yang selamat bertanya kepada diri mereka sendiri: "bagaimana saya bisa mendapatkan bahan-bahan rumah? Apakah saya diperkenankan membangun kembali di pantai tempat rumah kami dulu? Bagaimana saya akan meminta pinjaman untuk membeli perahu baru?"

Sumber daya memang ada. Ada yang mengatakan dana yang tersedia untuk Aceh lebih besar dari dana untuk bencana lain mana pun.

Tantangannya adalah menghubungan para warga dengan organisasi-organisasi yang memegang dana dan merencanakan kegiatan mereka untuk membelanjakan uang.

Komunitas yang terkucil akibat tsunami kini menghadapi situasi yang jauh lebih sulit.

Barak-barak perumahan tidak akan dibangun di daerah mereka, dan tidak banyak layanan yang disediakan untuk mereka.

Kawasan-kawasan itu hanya bisa dijangkau dengan perahu dan helikopter, sebab jalan-jalan tersapu oleh tsunami.

Sepanjang saya berada di Aceh, saya tertegun dengan betapa penting membentuk jaringan warga setempat dan organisasi-organisasi dalam kondisi krisis seperti ini. Memanfaatkan jaringan ini merupakan satu-satunya cara untuk membelanjakan jutaan pound yang disumbangkan warga Inggris secara efektif.

Suatu larut malam, para anggota tim kami bertemu di salah satu kedai kopi, yang sibuk menjelang tengah malam untuk merencanakan langkah kami berikutnya.

Nana, Rian dari Jawa Barat, Hasbi, Jess dan Jackie dari Banda Aceh, Dr Jack dari akarta, tengah menyusun rencana operasi hari berikutnya, atau sekadar berhibur, menghindari kengerian masa lalu dan menuju masa depan yang lebih baik.