Saturday, November 17, 2007

KONVERSI MINYAK TANAH: Kebijakan yang Salah Arah dan Anti Persaingan

Opini

KONVERSI MINYAK TANAH: Kebijakan yang Salah Arah dan Anti Persaingan
Oleh : Rachmad Yuliadi Nasir

29-Sep-2007, 13:51:58 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Krisis energi memang tidak hanya berlaku di Indonesia, namun sudah menjadi beban dunia saat ini. Sungguh menjadi kenyataan yang getir bagi Negara Republik Indonesia, dengan sumberdaya alam melimpah, seharusnya Negara Republik Indonesia bisa menjadi penopang energi dunia.

Pengolahan dan pengelolaan energi nasional jauh lebih buruk lagi, ketika diserahkan dan dipercayakan kepada asing. Walhasil, kita terpikat dan terperdaya oleh akal bulus asing dan bangsa inilah yang menanggung akibat dari kesalahan paling fatal dalam menata energi nasional.

Sebagai bangsa kita sangat bangga, bahwasanya kita memiliki anak bangsa yang bisa bersaing di dunia Internasional. Bak bagai kita menggantang asap, karena sumberdaya manusia yang memiliki potensi sama sekali tidak diberikan kepercayaan dan ruang yang cukup untuk terlibat dalam mengelola bangsa ini. Akibatnya, patron barat menjadi acuan dan atau tolak ukur keberhasilan semu di berbagai sektor.

Belakangan krisis energi berdampak pada panjangnya antrian minyak tanah yang menjadi pemandangan kita sehari-hari di seluruh Indonesia, menambah catatan buruk dari pengelolaan energi yang tidak konsisten. Demikian halnya dengan dunia usaha, khususnya industri kecil dan menengah sudah dalam kondisi sekarat menanti ketidakpastian energi ini.

Kebijakan energi yang sudah ditetapkan dalam Perpres No 5 Tahun 2006, kini hanya sekedar kertas kerja belaka. Apalagi aturan hukum yang berlaku sudah tidak digunakan oleh akal sehat siapapun di negara ini. Hal ini merupakan indikator dari ketidakberhasilan pemerintah dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan mendorong perekonomian nasional.

Prinsip kebijakan energi yang diacuhkan oleh pemerintah dalam konversi minyak tanah adalah ketidakpastian pemerintah dalam menjamin ketersediaan minyak tanah dan energi lainnya sebagai subtitusi dan atau dilakukannya konservasi energi, yaitu menggunakan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan. Hal ini lebih diperparah saat pemerintah memberikan jaminan pasokan energi ke luar negeri.

Kelemahan lain dari kebijakan konversi minyak tanah adalah ketersediaan pasokan gas, seperti untuk sektor usaha. Malahan, beberapa industri seperti pupuk gulung tikar akibat kurangnya pasokan gas. Banyak energi alternatif yang bisa diberdayakan dan hanya sekedar uji coba kalangan tertentu, justru tidak menawarkan alternatif energi bagi pengguna energi secara luas.

Pertamina yang kini sudah merupakan publik, seolah-olah tidak memiliki sikap terhadap kondisi energi negeri ini. Dan praktek penguasaan pasar pun terjadi lagi sejak kejatuhan orde baru. Jika demikian pemerintah harus mengkaji ulang status perusahaan Pertamina sebagai badan usaha milik negara yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan energi nasional. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, karena memunculkan inisiatif penguasaan pasar melalui kewenangan pemerintah.

Diantaranya sektor industri yang mengandalkan energi minyak tanah sebagai bahan produksinya. Kelangkaan minyak tanah di pasaran bukan karena kebijakan yang salah arah semata, akan tetapi fungsi pengawasan pun sama sekali tidak diperhatikan. Malah ada tuduhan negatif terhadap gejolak kelangkaan minyak tanah yang diarahkan kepada ‘pengoplos’, padahal tuduhan itu harusnya merupakan introspeksi pemerintah, Pertamina dan aparat hukum, karena tidak berperan aktif dalam pengawasan pendistribusian minyak tanah

Kalangan legislatif dalam hal ini Komisi VII DPR RI dapat menggunakan hak interpelasinya akibat pengelolaan dan kebijakan energi yang salah arah ini, karena seluruh rakyat sudah memberikan kepercayaan terhadap kondisi energi nasional. Masih banyak masalah yang tertinggal dalam pelaksanaan konversi minyak tanah ini, seperti kebijakan kontrak karya dan penanaman modal asing. Termasuk KPPU sebagai komisi pengawas persaingan usaha memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap industri yang terindikasi terjadi praktek persaingan usaha tidak sehat akibat konversi minyak tanah.

Mencermati kondisi kebijakan konversi minyak tanah ini yang semakin tidak menunjukkan kepastian dan memperluas krisis di berbagai bidang. Sewajarnya publik dapat melakukan upaya hukum terhadap pemerintahan, karena bumi, air dan kekayaan alam Indonesia sudah tidak dapat digunakan untuk kepentingan umum, akibat inkonsistensi dalam mengelola energi dan menetapkan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan umum.