Wednesday, November 21, 2007

SABANG-HALOHALO.CO.ID

Pulau Weh: Pulau Eksotis Di Barat Sumatera

Jumat, 26-Oktober-2007 11:47:05
Oleh : Rahmi


Pulau yang berada di paling barat Indonesia ini, terkenal dengan wisata baharinya yang meluas hingga mancanegara.

Setelah menempuh perjalanan sekitar sejam menggunakan kapal cepat Baruna yang saya tumpangi dari Ulee Lheue, menjelang senja sampailah saya di Pelabuhan Balohan, Sabang.

Ketika kapal merapat, terlihat hamparan hijau daratan Sabang yang berbukit-bukit dan indah. Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di pulau paling barat Indonesia!

Pulau yang luasnya tak lebih dari 153 km2 ini, merupakan salah satu tujuan wisata di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Namun jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke pulau ini, sangat menurun setelah gelombang Tsunami meluluhlantakkan Aceh. Meski P. Weh sendiri tidak banyak terkena dampak gelombang, namun pengaruhnya tetap dirasakan warga – terutama obyek wisata bahari andalan pulau ini.

Baru saja menjejakkan kaki keluar kapal, beberapa calo sudah mengejar menawarkan sewa mobil maupun angkutan yang menuju kota. Di Sabang angkutan kota memang sangat jarang, sehingga untuk mudahnya, saya memutuskan menyewa kijang tua (di sebut taksi oleh warga setempat) milik Pak Jamal, agar bisa berkeliling Pulau.

Diperjalanan, kami sempat diberhentikan para polisi Syariah yang berseragam hitam-hitam. Terus terang saya sempat dag dig dug, sebab hanya mengenakan kerudung ala kadarnya meski berpakaian tertutup. Untung mereka hanya memperhatikan kami sebentar, sehingga tidak harus terlibat banyak urusan. Kata Pak Jamal, polisi Syariah memang masih mentolerir "orang luar". Dalam hati saya bersyukur memiliki wajah yang kelihatan Jawanya....

Kami pun melanjutkan perjalanan ke kota Sabang yang dulunya merupakan desa nelayan. Kota ini mulai ramai sejak Pelabuhan Sabang dibuka tahun 1900, karena merupakan satu-satunya pusat perdagangan di pulau ini. Bahkan di jaman pendudukan Belanda, pelabuhan ini sangat penting sebagai depot batubara serta pintu keluar masuk barang dari dan menuju Indonesia.

Menurut sejarah, P. Weh ditemukan sekitar tahun 301 Sebelum Masehi oleh seorang Ahli Bumi asal Yunani, Ptolomacus, yang tengah berlayar ke arah timur. Di tengah jalan, ia berlabuh di sebuah pulau tak dikenal di mulut selat Malaka. Pulau inilah yang kemudian dikenal sebagai Pulau Weh (Weh dalam bahasa Aceh berarti terpisah).

Para pelaut juga sempat mengenal pulau ini sebagai Pulau Emas di peta mereka. Konon di abad 12, P. Weh pernah dikunjungi Sinbad yang tengah berlayar dari Sohar menuju Canton (China). Tokoh legenda ini kabarnya sempat berlabuh di P. Weh dan menamainya Pulau Emas, sedang kota Sabang sendiri berasal dari kata Shabag yang berarti Gunung Meletus.

Layaknya kota tujuan wisata, Sabang telah dilengkapi tempat-tempat penginapan bertarif Rp 300.000 hingga Rp. 80 ribu per malam. Meski relatif tak memiliki tempat hiburan, saat malam menjelang, sepanjang jalan kota akan dipenuhi pedagang suvenir dan penjaja makanan khas Aceh, seperti mie Aceh yang terkenal kelezatannya.

Sabang, Kota Asri
Hari pertama, rencana saya mengunjungi Benteng Jepang di Selat Malaka dan Km 0 terpaksa batal akibat hujan dan angin kencang yang mengguyur sejak pagi hari. Menurut Pak Jamal, bila hari hujan, jalan menuju Benteng sangat licin dan nyaris tak bisa dilalui kendaraan. Jadi untuk mengisi waktu, saya pun memutuskan untuk menjelajah kota di pinggir dermaga ini.

Penjelajahan pertama saya, tentu saja mengunjungi dermaga yang memiliki panorama sangat indah. Lautnya yang berwarna biru tua serta dataran pulau yang menghijau berbukit-bukit, terlihat begitu eksotis. Belum lagi atraksi burung Camar yang melesat menyambar ikan di pantai, tak kalah menakjubkan. Apalagi bila memandangnya sambil menyeruput kopi Sanger, kopi susu khas Aceh yang tersedia di kafe-kafe pinggir pantai.

Sebenarnya akan lebih sempurna lagi bila saya menikmati suasana pantai ini, sambil menyantap makan siang dengan hidangan ikan bakar. Sayangnya saya datang di saat musim angin barat, sehingga tak banyak nelayan yang melaut. “Kalau pun ada, harganya sangat mahal,” kata penjaga penginapan. Di hari Jumat pun nelayan dilarang melaut, tak heran perahu-perahu nelayan banyak bersandar di pantai.

Jelang sore, saya pergi ke alun-alun kota dengan menaiki tangga yang membelah di tengah pasar. Alun-alun ini mirip taman bunga dan berada di ketinggian, tak jauh dari dermaga. Di sekitar bangku-bangku dan pepohonan akasia, terdapat tugu berisi letak geografis kota Sabang. Posisinya yang strategis, membuat saya bisa memandang kota dari ketinggian, hamparan laut biru, hingga pemandangan Pulau Klah yang cantik.

Puas memandangi keindahan pulau dari ketinggian, saya pun kembali ke dermaga. Kali ini saya berniat mencoba memancing ikan di tepi laut. Di saat sore, dermaga memang cukup ramai dikunjungi anak-anak maupun orangtua. Ada yang memancing ikan dengan berbekal tali, kait dan umpan, tapi ada juga yang datang untuk sekedar bercengkrama dengan keluarga. Tak seperti beberapa anak yang berhasil menangkap ikan cukup besar, saya terpaksa kembali ke penginapan dengan tangan kosong.

Seharian Mengelilingi Pulau
Keesokan hari cuaca bersahabat, bahkan sangat cerah. Sesuai janji, tepat jam 7 pagi Pak Jamal menjemput saya untuk berkeliling pulau. Tujuan pertama saya adalah Benteng peninggalan Jepang yang letaknya di Pantai Kasih, Selat Malaka. Meski jaraknya hanya sekitar 30 menit dari kota, namun jalan yang harus dilalui berkelok-kelok dan licin. Tapi untuk pemandangan Selat Malaka yang sangat indah, perjalanan itu tak ada apa-apanya.

Benteng yang didirikan tahun 1942 ini, sempat menjadi tempat penyimpanan amunisi oleh armada Jepang. Selain Benteng ini, Sabang juga memiliki beberapa benteng atau bungker peninggalan Jepang lainnya, yang terbesar konon terletak di Cot Ba'u. Bahkan hampir sepanjang pulau, terlihat dinding benteng yang menurut Pak Jamal, dinding ini saling menyambung antara benteng yang satu dengan yang lain.

Dari benteng kami melanjutkan perjalanan menuju Tugu Kilometer Nol yang ditempuh sekitar 1,5 sampai 2 jam dari kota. “Letaknya diseberang sana,” tunjuk Pak Jamal ke sebuah titik di seberang pulau, artinya, kami akan menyusuri pulau ini dari ujung ke ujung! Untunglah pemandangan hamparan biru laut dan rimbunnya pepohonan di sisi kanan dan kiri selalu menyertai, sehingga dirasa begitu mengasyikkan.

Sebelum sampai ke lokasi tugu, kami sempat melalui tepi hutan lindung yang banyak dihuni hewan liar, termasuk monyet. Karena sudah terbiasa, monyet-monyet tersebut tidak takut berkeliaran dijalan. Bahkan mereka kerap menghampiri mobil-mobil yang melambat atau berhenti, berharap mendapat pisang. Pantas sebelum memasuki kawasan hutan lindung banyak sekali penjaja pisang, ternyata pisang-pisang itu untuk monyet-monyet ini.

Tugu Kilometer Nol terletak di bukit batuan curam, di tepi Samudra Hindia. Tugu setinggi 15 meter yang dipuncaknya mengusung angka “0” serta lambang Garuda Pancasila ini, berada di lintang 05o 54’ 21.42“, bujur 95o 15’ 00.50“ dan ketinggian 43,6 m.dpl. Di hari kerja, pengunjung akan mendapat sertifikat tanda sudah berada di ujung paling barat Indonesia. Tapi karena saya datang di hari libur, maka saya harus puas dengan berfoto di sekitar tugu saja.

Belum ke Sabang namanya bila tidak menyempatkan diri ke Pantai Gapang dan Pantai Iboih (baca: Iboh) yang terkenal dengan keindahan bawah lautnya. Meski tidak berniat untuk melakukan diving atau snorkling, kedua pantai ini cukup asyik untuk melepas lelah. Selain menyediakan resort yang sangat nyaman, kedua pantai ini juga sudah dilengkapi operator kegiatan bawah laut yang akan mengurus semua keperluan Anda yang ingin menyelam maupun snorkling.

Lokasi wisata bahari lainnya adalah Pulau Rubiah. Pulau ini dulunya merupakan asrama haji yang akan berangkat ke Mekkah, tapi sekarang telah berubah menjadi Taman Laut Rubiah (Sea Garden Of Rubiah) karena memiliki pemandangan bawah laut yang menawan. Untuk mencapai pulau seluas 50 ha dan berjarak 7 km ini, saya harus menggunakan transportasi laut lagi. Sementara saya harus segera kembali ke Balohan untuk mengejar kapal cepat ke Banda Aceh.

Di tengah jalan, Pak Jamal menyempatkan saya untuk mampir ke sebuah pekarangan luas dipenuhi mobil-mobil mewah. Mobil seharga miliaran rupiah ini berasal dari Singapura, meski terlihat mengilat dan baru, tapi sebetulnya merupakan mobil bekas yang dijual kembali ke Indonesia.

Sabang memang pelabuhan bebas, sehingga berbagai barang bisa masuk tanpa terkena bea cukai. Wajar bila kemudian harganya menjadi sangat miring. Tapi bila keluar Sabang, mobil ini harus memiliki surat-surat. Dengan tambahan beberapa puluh juta saja, mobil ini akan dikapalkan ke semua wilayah Indonesia, lengkap dengan surat-suratnya.

Sebenarnya masih banyak keindahan alam lainnya yang dimiliki Pulau Weh. Meski temperaturnya cukup panas karena di tengah samudera, namun kecantikannya begitu membekas di hati saya.

How To Get There:
Anda bisa mencapai Sabang dengan menggunakan kapal cepat Pulo Rondo atau Baruna dari pelabuhan Ulee Lheue menuju Balohan, waktu tempuh 30-45 menit.

Where To Stay:
Hotel Holiday
Jl. Perdagangan Belakang
Phone : (0652) 21131

Hotel Irma
Jl. Seulawah No. 3
Phone: (0652) 21235

Hotel Pulau Jaya
Jl. Seulawah No.17
Phone: (0652) 21344

Hotel Sabang Merauke
Jl. Seulawah No.230
Phone: (0652) 21139

Information:
Pemerintah Kota Sabang
Jl. Diponegoro no.40
Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam
(0652) 21040
(0652) 22202
www.sabangkota.go.id