Saturday, November 17, 2007

Pelajaran dari Gempa Aceh

Jakarta 29 Desember 2004

Pelajaran dari Gempa Aceh


Gempa bumi yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 pagi sungguhlah dahsyat disertai gelombang pasang (tsunami) menelan korban jiwa manusia dan harta benda. Sampai hari kemarin telah mencapai lebih dari 4.500 orang di Indonesia, itu pun mungkin masih bertambah. Tsunami yang menyertai gempa bumi ini juga menelan korban jiwa sebanyak 13.000 orang di Srilanka, 3.500 orang di India, 866 di pantai barat Thailand, 52 orang di Maldives, 44 orang di Malaysia, 30 orang di Myanmar, 8 di Somalia, dan 2 di Bangladesh. Bahkan gelombang tsunami ini dilaporkan USGS terekam sampai dengan pantai barat Amerika Utara dan Selatan.


Besaran gempa bumi
Magnitude atau besaran gempa bumi di Aceh tersebut adalah 9 (sumber NEIC), jika ditulis dengan moment magnitude, disingkat MW, adalah 8,2. Oleh Badan Metereologi dan Geofisika dilaporkan besarannya adalah 6,8 Mb yang dihitung berdasarkan body wave. Besaran gempa yang dilaporkan sangat tergantung sinyal gempa bumi yang dijadikan dasar perhitungan serta seismometer yang dipergunakan untuk merekam gempa bumi. Saat Richter di tahun 1935 memperkenalkan pengukuran magnitude gempa bumi, alat yang dipakai adalah seismometer Wood-Anderson. Alat ini untuk mengukur amplitudo gelombang gempa yang berepisentrum (proyeksi pusat gempa bumi di permukaan bumi) dalam jarak 100 kilo meter. Besaran gempa bumi yang dihasilkan biasa disingkat ML.


Di samping itu masih ada skala gempa bumi yang diukur berdasarkan kerusakan dan guncangan yang dirasakan oleh setiap orang yang ada di suatu tempat. Skala ini disebut skala intensitas dan yang sekarang banyak dipergunakan adalah skala Modified Mercalli Intensity (MMI) yang terdiri dari 12 tingkatan skala. Jika terdapat perbedaan hasil perhitungan magnitude tak berarti bahwa yang satu benar dan yang lain salah.


Tatanan geologi
Mengapa Indonesia sering diguncang gempa bumi? Setelah Alor, Nabire (dua kali), Sumatera Selatan, dan kemudian Aceh termasuk pula Pulau Simeulu telah diguncang gempa bumi selama tahun 2004 ini. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan karena wilayah Indonesia merupakan interaksi dari tiga buah lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia (di selatan), lempeng Pasifik (di timur laut), dan lempeng Eurasia (di sebelah barat daya).


Dengan asumsi bahwa lempeng Eurasia atau juga disebut lempeng Asia tidak bergerak, maka lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke utara-timur laut dengan kecepatan sekitar 6-7 cm/tahun, sedangkan lempeng Pasifik bergerak relatif ke arah barat. Pada batas antarlempeng tektonik terdapat gejala tektonik yang ditandai oleh kehadiran pusat-pusat gempa bumi. Gerakan antarlempeng bisa saling mendekat seperti yang terjadi antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia tersebut. Lempeng Indo-Australia menunjam di bawah Sumatra-Jawa -Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan bagian dari lempeng Eurasia.


Tunjaman itu ditandai dengan kehadiran palung laut Sumatra yang membentang sepanjang sekitar 4.500 kilometer, berjarak 200-250 kilometer dari pantai barat ujung utara Pulau Sumatra ke timur sampai dengan selatan pantai pulau Timor. Pada kedalaman sekitar 150 kilometer permukan lempeng yang menunjam mengalami pelelehan sebagian (partial melting) sehingga memberikan sumber magma yang kemudian menembus ke permukaan dan terbentuklah gunung-gunung api, dan kenampakan di permukaan daratan inilah yang dikenal sebagai sabuk api (ring of fire).


Akibat tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia juga menghasilkan patahan atau Sesar Mentawai yang membentang di lepas pantai dan sejajar dengan pantai barat Sumatra dan Sesar Besar Sumatra yang memotong Pulau Sumatra dari Teluk Semangko di selatan sampai dengan ujung utara Pulau Sumatra. Pergerakan Sesar Besar Sumatra antara lain menghasilkan kenampakan depresi sepanjang Bukit Barisan dan beberapa danau seperti Danau Ranau dan Danau Singkarak.


Ditinjau dari gerakannya atau kinematikanya, Sesar Mentawai dan Sesar Besar Sumatra merupakan sesar geser menganan, artinya jika kita berdiri di atas sesar, bagian di sebelah kanan kita akan bergerak menuju kita, sedangkan sepanjang palung terjadi pensesaran naik. Perbedaan keduanya, jika sesar geser bergerak kemungkinannya sangat kecil dapat menghasilkan perubahan volume di permukaannya kecuali di daerah dimana terdapat dua sesar geser berhadapan, sedangkan sesar naik dan juga sesar turun akan menghasilkan perubahan volume di permukaannya. Jika sesar naik berada di bawah permukaan air (laut) maka bisa menimbulkan gelombang pasang yang kita kenal sebagai tsunami.


Mekanisme sesar
Gempa bumi yang terjadi di Aceh merupakan akibat gerakan sesar naik sepanjang daerah subduksi. Hal ini bisa dilihat dari mekanisme fokal yang direkam dari gempa tersebut yang menunjukkan gejala sesar naik. Gempa bumi ini termasuk gempa bumi dangkal, pusat gempa buminya diperkirakan sedalam 10 kilometer, sehingga getarannya terasa sangat kuat mengguncang dan bisa dirasakan sampai dengan Bangladesh, Malaysia, Myanmar, Singapura, Srilanka, dan Thailand. Menurut perhitungan sementara USGS dari gempa bumi susulan sampai hari ini diperkirakan daerah yang mengalami pensesaran sepanjang ratusan kilometer dengan pergeseran pada bidang sesar sebesar 15 meter. Bisa dibayangkan perubahan volume yang diakibatkan oleh sesar ini sangatlah besar dan air laut yang ada di atasnya akan terguncang cukup kuat.


Kenampakan di pantai, permukaan laut akan turun dengan cepat sehingga ikan akan menggelepar dan setelah sekian menit (bisa juga hitungan detik, tergantung jarak pantai terhadap pusat gempa bumi) maka air akan pasang menyapu daerah pantai. Tinggi air pasang sangat tergantung besar perubahan volume yang diakibatkan oleh pensesaran tersebut. Sampai saat ini belum ada alat yang bisa meramal dengan tepat kedatangan gempa bumi. Di Yunani pernah diperkenalkan Metode Van yang pernah bisa meramal kedatangan gempa, namun setelah itu belum ada lagi gempa bumi yang bisa diramalkan kedatangannya. Di sini kita tahu bahwa gempa bumi sebagai bagian dinamika bumi memiliki karakter yang unik.


Sistem peringatan dini kedatangan gelombang pasang (tsunami) mungkin bisa dikembangkan, tetapi membutuhkan data base yang baik tentang sejarah gempabumi, struktur geologi, batimetri, dan juga kerja sama dari berbagai instansi. Untuk itu, di Indonesia sudah tiba waktunya menyusun undang-undang tentang penanggulangan bencana alam yang komprehensif, mulai dari penelitian preventif pra bencana, penelitian saat peristiwa bencana, sampai dengan penelitian pasca bencana yang ditindaklanjuti dengan penataan ruang oleh pemerintah daerah.


Dari peristiwa bencana alam gempa bumi Aceh, seperti pada peristiwa bencana gunung api, kita bisa belajar bahwa saat duka kita membutuhkan kebersamaan. Kita tidak bisa menghentikan gempa bumi, kita tidak bisa menghentikan letusan gunung api, karena peristiwa itu bagian dari dinamika bumi tempat kita tinggal. Biarkan bumi bergerak dengan ritmenya, marilah kita mempelajari perangainya. Saat bumi ramah kita bisa bercanda dan menari, saat bumi kesal kita menjauhi pusat kekesalannya. Marilah kita berkoeksistensi dengan dan memahami bumi kita.