Saturday, November 17, 2007

REVITALISASI REPUBLIK: Perspektif Pangan dan Kebudayaan

Budaya

REVITALISASI REPUBLIK: Perspektif Pangan dan Kebudayaan
Oleh : Rachmad Yuliadi Nasir

16-Nov-2007, 21:45:15 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Revitalisasi Indonesia bisa dimulai dari mana saja. Apapun kebijakan yang menjadikan anak panah, asal fokus, konsisten dan terus menerus sehingga mampu menarik bidang-bidang lain untuk menjadi produktif, maka persoalan yang dihadapi bangsa ini akan dapat diatasi.

Kebijakan mengenai pangan, misalnya, kalau dilakukan secara totalitas maka akan mendorong ketahanan pangan nasional. Situasi ini akan membuat perasaan tenteram rakyat, tiap individu merasa bermartabat karena tidak kelaparan, dan bangsa menjadi berdaulat karena tidak bergantung pada bangsa lain dalam mencukupi kebutuhan pangan nasional.

Ibarat sebuah sungai, jika ketahan pangan tersebut bergabung dengan sungai-sungai lain utamanya nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan, maka akan terciptalah lautan. Kita AKAN menjadi bangsa yang besar.

Dunia dan orang lain tidak akan bisa diminta supaya berhenti menyiasati kita kecuali merubah diri kita sendiri sehingga tidak bisa diperdaya olehnya. Kalau jalan ketakutan akan adanya jebakan pangan dari negara adidaya pertanian ternyata kurang ampuh, mengapa tidak menyiasati dengan menjadi belut melalui pengembangkan budidaya makan tepung?

Siapapun anak bangsa yang mau sedikit merenung, dia akan gemetar jika memikirkan masa depan Indonesia. Utamanya apabila faktor China dan India diperhitungkan karena kedua negara itu, secara sadar dan terencana, masing-masing berniat menguasai pasar hardware dan software dunia. Target waktu yang mereka tetapkan adalah tahun 2025.

Saat itu menurut pengamat politik Sukardi Rinakit, China menguasai hardware dunia, India menguasai software dunia, sedangkan Indonesia Noware.

Kita harus segera bergerak menguasai Iptek agar tidak ketinggalan dari negara-negara tetangga. Melihat geliat kedua negara tersebut, dan pusaran ekonomi global yang semakin cepat dan tidak ada pilihan lain bagi indonesia kecuali mencari terobosan alternatif. Tanpa langkah itu, rasanya sulit bagi republik untuk bisa bertahan dari gempuran global.

Pendeknya, kelangsungan hidup bangsa sangat tergantung dari kemampuan kita dalam memahami persoalan mendasar yang kita hadapi. Selain itu juga sangat tergantung pada keberanian kita dalam mengambil keputusan politik bersama. Tanpa langkah itu, sumber daya ekonomi dan politik yang ada tidak akan bergerak maju. Ia akan seperti tertahan karena menentang arah angin.

Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa
Menurut Sri Sultan Hamengku buwono X, Pangan bukanlah sekedar "pemelihara" kebudayaan dan peradapan tetapi juga kelangsungan hidup bangsa. Tanpa pangan bisa dipastikan sejarah kita sebagai bangsa, bahkan sejarah umat manusia akan berakhir. Oleh sebab itu, masalah ketahan pangan, meskipun tampak mikro jika dilihat dalam konfigurasi permasalahan bangsa, harus mendapatkan perhatian utama. Tanpa itu, bukan saja keresahan sosial sulit untuk dihindari tetapi kualitas SDM Indonesia pun secara otomatis akan rendah. Secara sekilas, itulah barangkali yang menjadi intisari pemikiran penulis ini.

Harus diakui bahwa selain beras, konsumsi pangan kita juga masih rendah, utamanya konsumsi protein hewani. Konsumsi susu per kapita per tahun, Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan India, misalnya. Per kapita rakyat Indonesia hanya minum susu 6,5 liter per tahun, sedangkan India mencapai 40 liter. Lebih ironis lagi jika di bandingkan Bangladesh dan Myanmar pun, kita juga kalah jauh. Bangladesh mencapai 31 liter dan Myanmar 12,9 liter. Ini belum konsumsi daging, telur, kedelai dan lain-lain. Pendek kata, secara umum, konsumsi pangan kita relatif rendah.

Sementara itu, ketergantungan kita pada produk pangan dunia, khususnya "serealia" masih relatif tinggi. Padahal China dan India merupakan konsumen terbesar kebutuhan pangan dunia, termasuk serealia. Situasi demikian secara implisit memberi gambaran, bahwa sesungguhnya kedaulatan pangan kita sangat rentan. Ini disebabkan oleh ketidakmandirian negara dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Dengan kata lain, kedaulatan kita dapat terancam sewaktu-waktu, karena ketergantungan pangan pada negara lain cukup besar.

Muaranya adalah bahwa kebijakan pangan kita harus diubah dengan paradigma baru yang menjamin ketersediaan dan ketahanan pangan. Jika menggunakan sumber kearifan jawa, kebijakan itu hendaknya berakar pada filosofi Hamemayu hayuning Bawono, sebuah konsep pembangunan berkelanjutan yang lahir jauh sebelum Deklarasi Rio tahun 1992, guna menjamin ketahanan pangan yang sustainanble. Tanpa kesadaran seperti itu, kita tidak akan bisa meningkatkan kualitas hidup rakyat, karena kelangsungan hidup bangsa selalu terancam kapan pun.