Saturday, November 17, 2007

Filosofi Berbangsa

jakarta, 7 Agustus 2006
Filosofi Berbangsa

Apa negara ini berada dalam keadaan gawat darurat? Tiba-tiba jagat nasional disuguhi lagi isu-isu yang bikin penat kepala orang awam. Ada yang mau mengganti Pancasila. Kita diajak kembali ke UUD 1945 yang asli.
Ada pula yang ingin melakukan amandemen UUD 1945 hanya untuk memperoleh kewenangan lebih besar mengenai status DPD (Dewan Perwakilan Daerah) ketimbang memikirkan nasib raykat yang diwakilinya. Perda bernuansa syari'at Islam pun ramai jadi perdebatan kontroversial. Bahkan tak tanggung-tanggung ada isu kudeta. Belum termasuk beragam isu di sekitar bencana alam dari yang politis hingga klenik. Tak tahu hari-hari ke depan isu apa lagi yang akan menjadi konsumsi publik.
Padahal pada saat yang sama, bangsa ini tengah berduka. Gempa di DIY dan Jateng belum juga sembuh, dengan tahap pemulihan yang tidak begitu jelas. Luapan lumpur panas di Porong Sidoarjo. Banjir bandang di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo di tengah ancaman kekeringan di pulau Jawa dan daerah-daerah lainnya. Derita rakyat Aceh akibat tsunami dan konflik berkepanjangan pun sesungguhnya juga belum sembuh. Kerusakan hutan dan kondisi lingkungan yang kian parah. Sejumlah bencana nasional itu seakan tak menyentuh wilayah kesadaran nurani kaum elite di negeri ini untuk berpikir jernih, selain politisasi. Kurang apa lagi bencana yang harus menimpa?
Menebak isi kepala kaum elite memang tak mudah. Lebih-lebih jika para elite itu memiliki talenta dan syahwat politik yang tinggi. Pernyataan dan gerak-gerik kaum jumawa itu tak mudah untuk ditebak. Selalu ada yang terbuka dan tersembunyi laksana sebuah dramaturgi. Apa yang disajikan di depan khalayak (front stage) berbeda dengan latar dan motif yang berada di benak belakang (black stage). Elite, sebagaimana namanya, memang sosok-sosok piawai (pimunjul), yang selalu cakap memainkan peran di panggung publik. Mereka pun pintar menyihir, bahkan memperdaya nalar rakyat hingga apa pun yang diperbuatnya selalu menebar pesona. Tak tahu kalau di balik sejuta pesona elite itu selalu tersimpan sejumlah kenaifan.
Ada sesuatu yang mencolok dalam membaca dunia elite dalam kondisi bangsa saat ini. Para elite seakan tak mampu membaca dan menyelami persoalan-persoalan krusial yang dihadapi rakyatnya. Mereka, sebagai panutan dan pemimpin, seolah kehilangan perspektif dalam mencandra persoalan-persoalan nasib rakyat. Para elite juga seolah tak mampu memberi arah dan bingkai dalam memecahkan krisis bangsa dan membawa perjalanan ke depan secara jelas. Mereka justru sibuk dengan isu-isu dan agenda-agenda sendiri yang elitis dan tak bersambungan dengan denyut kehidupan rakyat dan masa depan bangsa yang tidak karu-karuan sekarang ini. Para elite itu seperti punya dunia sendiri. Maqom sendiri, yang tak tersentuh maqom publik.
Para elite itu fasih bicara Pancasila. Tapi kita tidak tahu, untuk apa Pancasila itu mereka wacanakan? Pancasila yang mereka wacanakan ternyata tak memberi banyak makna bagi bangsa ini untuk keluar dari kemelut. Juga tak menghadirkan nuansa konseptual baru, apalagi yang bersifat filosofis tentang Pancasila sebagai nilai filosofi kita berbangsa dan bernegara. Bagaimana Pancasila menjadi inspirasi untuk pencerahan bangsa. Memberi arah dalam situasi tak pasti dan transisi. Menjadi kekuatan untuk menumbuhkan optimisme dan idealisme.
Menumbuhkan khazanah nilai bagaimana masyarakat lebih-lebih elite berperilaku yang positif. Memberi bingkai nilai tentang hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara bermartabat dan berkeadaban. Menjadi bangsa yang semakin berakhlak mulia. Pancasila malah dijadikan objek sakralisasi yang berlebihan, tetapi tumpul dalam mencandra denyut nadi rakyat, serta gagal dalam mengarahkan perjalanan bangsa ke depan secara bermakna. Pancasila diangkat kembali justru sebagai alat pemukul layaknya di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Menjadi isu politik murahan.
Jadi isu untuk saling curiga dan menaruh kepenasaran, siapa yang mau mengganti Pancasila dan untuk keperluan apa. Pancasila tidak dijadikan sumber inspirasi yang membawa manusia Indonesia untuk semakin berketuhanan. Semakin berperikemanusiaan yang beradab. Berpersatuan dalam rasa senasib seperjuangan. Berdemokrasi secara hikmah dan memihak kepentingan daulat rakyat.
Menjadi kekuatan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di tengah suasana hidup yang sarat kesenjangan yang menganga. Pancasila, akhirnya dijadikan kembali sebagai dogma dan instrumen politik bagi siapa pun yang memakai dan memaknainya, bukan sebagai sumber filosofi yang penuh mozaik bagi perjalanan bangsa kini dan ke depan.
Kembali ke UUD 1945 yang asli? Juga tak memberikan perspektif baru untuk keluar dari kemelut, selain kental dengn nuansa politik dan romantisme yang entah ke mana arahnya. Mereka yang mengangkat isu ini memang para tokoh dan mantan petinggi negara yang ternama, tapi justru mengesankan perilaku politik yang kekanak-kanakan.
Runtang-runtung dengan berbagai isu politik yang layak jual ke publik, yang membikin rakyat kian dibebani dengan hal-hal yang tak terlalu perlu di saat bangsa tengah dirundung banyak musibah dan ketidakpastian. Menjadi tokoh malang melintang ternyata tak selalu sama dan sebangun dengan jiwa kenegarawanan, yang muncul malah jiwa-jiwa yang gersang. Mungkin pintar dan jumawa di jagat politik, tetapi kehilangan mata-batin nan otentik dan kecerdasan yang jernih sebagai sosok-sosok negarawan.
Sementara para elite lainnya baik di panggung politik maupun dunia keormasan juga tak banyak yang menawarkan alternatif dan menjadi panutan untuk pencerahan bangsa. Selain terbatas pada kegemaran retorika dan sikap-sikap simbolik.
Gejala apa? Tampaknya yang kini hilang dari tubuh bangsa ini, juga dari dunia elite, ialah filosofi berbangsa secara substansial. Yakni cara kita berbangsa yang dibangun di atas nilai-nilai yang fundamental di mana nilai-nilai yang mendasar itu benar-benar dihayati menjadi sesuatu yang bermakna dan berfungsi sebagai khazanah dan pola bagi tindakan-tindakan kita secara utama. Sumber nilainya yang legal-formal tentu Pancasila, selain itu yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat Indonesia yakni agama dan tradisi yang luhur, yang melahirkan keutamaan-keutaman dalam bertindak di ranah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jadi, tidak semata-mata bertindak pragmatis. Bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sekadar urusan teknis, praktis, pragmatis, dan politis belaka.
Tidak dibingkai dengan perspektif yang luas dan filosofis, sehingga gersang. Orientasi kebangsaan yang nir-filosofi seperti itulah yang membuat jagat nasional di negeri ini menjadi serba gersang dan penuh kegalauan. Pancasila didogmakan dan disakralkan, tapi kehilangan fungsi filosofisnya dalam membimbing bangsa dan menyelenggarakan urusan-urusan negara. Karena ketakutan terhadap dominasi agama, Pancasila pun disekularisasikan, akibatnya bangsa dan negara ini nyaris kehilangan sukma spiritualnya. Pancasila tidak menjadi kanopi kita berbangsa, apalagi sebagai kompas bermakna, kecuali dogmatisasi. Bangsa dan negara ini seolah diarahkan oleh retorika dan simbol-simbol yang tidak transformasional.
Nasionalisme pun sekadar barang ecek-ecek, naif, dan simbolik, tidak menjadi energi dahsyat untuk membebaskan Indonesia dari krisis, bencana, dan kerusakan. Menggembar-gemborkan demokrasi tetapi mentah-mentah memakai pola pikir Barat yang serbabebas tanpa menengok pada mozaik agama dan kultur yang mekar di tubuh bangsa ini. Sehingga atas nama demokrasi menolak RUU APP dan Perda antimaksiat secara hantam-kromo, padahal itu penting untuk kebaikan bangsa dan masyarakat. Tidak sadar bahwa di negeri asalnya sendiri, demokrasi yang diagung-agungkan itu telah diinjak-injak, sehingga sebuah negara kampiun demokrasi dengan seenaknya menginvasi negara lain dan membiarkan kebrutalan sebuah negara terhadap negara lain yang berdaulat.
Sedangkan berbagai prilaku pragmatis lainnya kian mekar tanpa kendali. Fenomena gaji anggota parlemen yang selangit, di tengah derita hidup rakyat yang diwakilinya. Menjanjikan dana puluhan juta rupiah untuk korban gempa, tapi tak ada realisasinya, padahal rakyat tengah menanti dengan penuh harap. Saling berlomba memperagakan diri membantu korban bencana, tetapi dengan motif politik. Bermanis-manis ketika kampanye, tetapi setelah jadi sekadar retorika dan bermain politik simbolik, seolah rakyat itu tidur dan mati kesadaran.
Belum terhitung berbagai bentuk korupsi dan penyelewengan yang terbukti telah memporak-porandakan sendi-sendi negara dan hajat hidup rakyat. Pendek kata, berbangsa dan bernegara dimainkan semata-mata berdasarkan kepentingan dan kegunaan yang menguntungkan si pelaku, nyaris kehilangan filosofi tentang makna dan kemaslahatan. Akibatnya bangsa ini menjadi semakin kerdil, tertatih-tatih, anarkis, terbelakang, jadi sarang penjarah, dan kehilangan sukma.
wassalam
rachmad yuliadi nasir