Saturday, November 17, 2007

Karunia Bencana

jakarta,2 Agustus 2006

Karunia Bencana

Bisakah bencana yang bertubi-tubi menimpa Indonesia baru-baru ini kita pandang sebagai karunia Allah SWT?
Sungguh tidak mudah berpikir demikian.
Bekas-bekas bencana masih berserakan. Bukan hanya bekas Tsunami di pantai selatan Jawa, sisa longsor dan banjir di Sulawesi dan Kalimantan, puing-puing gempa di sekitar Yogyakarta dan Klaten, bahkan juga akibat salah satu tsunami terdahsyat sepanjang sejarah yang telah menghancurkan Aceh.
Perasaan duka mereka yang secara langsung merasakan bencana tersebut adalah luka yang sangat dalam. Begitu dalam luka itu hingga tak akan dapat terhapuskan begitu saja tanpa meninggalkan bekas.
Apa yang dapat kita lakukan untuk mereka selain berbagi rasa dan memberi dukungan nyata? Berkeluh kesah, meratapi keadaan, atau apa pun semacam itu sungguh tidak akan memberi arti apa-apa. Yang justru berarti adalah bila kita mencoba mengaji.
Apa yang dapat kita pelajari dari rentetan bencana itu? Bagaimana kita menyikapinya? Apakah ini kutukan Tuhan? Apakah ini karunia? Ataukah ini kutukan di satu sisi, dan karunia di sisi lainnya?
Sangat mudah bagi kita menjejerkan data yang akan mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa musibah itu adalah kutukan. Bandelnya Playboy, terus berlangsung penjarahan kekayaan negara, ambruknya integritas sangat banyak pejabat dan penegak hukum adalah sebagian dari pembenar pandangan tersebut. Sebaliknya, sungguh tidak mudah untuk melihat rangkaian bencana ini sebagai suatu karunia.
Padahal, akan sangat berharga bila kita juga memandang rentetan musibah itu sebagai karunia. Memandang bencana sebagai karunia akan memudahkan bersyukur. Sedangkan bersyukur, kita tahu, akan berujung pada perolehan nikmat besar yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Cara pandang demikian dapat menjadi energi besar bagi bangsa untuk membangun kehidupan baru yang jauh lebih baik di masa depan. Jadi, dalam pandangan ini, Allah tentu punya maksud baik atas bangsa kita dengan menghadirkan hujan bencana.
Cara pandang demikian ternyata diyakini pula oleh seorang petinggi Bank BNI. Salah seorang bankir kunci di negeri ini yang acap berkontemplasi dengan fotografi itu percaya, rentetan musibah adalah anugerah.
"Banyak bangsa menjadi kuat justru setelah kalah perang. Kita tidak kalah perang, dan memang tidak perlu perang. Kenyataannya kita tertimpa bencana. Bagaimana kita dapat menjadikan bencana sebagai titik tolak bangsa untuk bangkit," katanya.
Pandangan itu benar. Bangsa-bangsa yang kuat adalah bangsa yang ditempa oleh keadaan yang keras. Kita? Selama ini kita justru dimanjakan oleh nyamannya keadaan. Sebagian besar kita merasa tidak harus berupaya dan bekerja keras untuk mempertahankan hidup. Alam begitu ramah. Masih banyak pula kerabat yang dapat dimintai bantuan jika kita ada kesulitan.
Kita biasa menggantungkan hidup pada nasib yang telah ditentukan oleh Yang di Atas. Kita menjadi terbiasa menengadahkan tangan. Kita gemar menerima bantuan. Sebagian malah gemar meminta bantuan, seolah itulah hak kita. Juga seolah itu tugas dan kewajiban orang lain untuk membantu kita. Tak jarang agama juga dipakai sebagai pembenar.
Kita sering tak menyadari, dengan sikap hidup seperti itu, sebenarnya kita sedang mengingkari nikmat Allah. Kita tidak yakin telah dikaruniai nurani, akal, dan tenaga yang mencukupi untuk membangun kehidupan yang layak. Baik untuk kehidupan di dunia ini maupun di akhirat kelak. Kita enggan memacu diri sendiri untuk selalu bersikap terbuka, terus mau belajar serta bekerja keras menjemput karunia Ilahi yang tak terkira. Sedangkan sunnatullah mengajarkan bahwa jangan pernah berharap rejeki dan keberkahan akan datang sendiri tanpa kita mau berusaha keras buat menjemputnya.
Kita sering bersikap loyo dan mengaku tidak sanggup untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Kita berlindung pada takdir. Padahal, kenyataannya, pangkalnya seringkali adalah karena kita malas bergeser dari cangkang comfort zone diri kita sendiri.
Tuhan sungguh Maha Pemurah. Beliau sangat paham karakter kita yang sangat malas berubah itu. Mungkin karena itu, Beliau karuniai kita rangkaian bencana agar kita bangun, bangkit, dan tidak lagi menjadi bangsa dan umat yang menyerah pada nasib melainkan berperan aktif sebagai tangan-Nya buat menentukan nasib diri kita sendiri.
Wassalam
Rachmad Yuliadi Nasir