- | Senin, 23 Jul 2007
Wow! Itu judul teater anak yang dipentaskan oleh Teater Tanah Air di Taman Ismail Marzuki (TIM) minggu lalu. Mereka memenangi 19 medali emas dalam festival teater anak sedunia di Jerman tahun lalu. Ternyata, dalam soal kesenian dan kebudayaan, Indonesia, lebih tepatnya anak-anak Indonesia, tidak kalah dengan anak-anak negara lain di dunia. Yang istimewa kali ini, pementasan "Wow!" yang disutradarai oleh Jose Rizal Manua berdasarkan naskah Putu Wijaya dihadiri oleh Presiden SBY dan Ibu Negara beserta lebih dari 500 anak-anak yatim. Memang pada pementasan perdana beberapa bulan lalu Presiden SBY tidak sempat untuk menontonnya. Pementasan kali ini dirangkaikan dengan peringatan Hari Anak Nasional. Presiden SBY menontonnya dengan langsung datang di TIM, yang menjadi Mekkah bagi kegiatan kesenian, kesusasteraan, dan kebudayaan di Indonesia. Menariknya, bersamaan dengan kedatangan Presiden SBY di TIM, pada saat itu juga sedang berlangsung Pekan Presiden Penyair Indonesia untuk mengapresiasi karya-karya Sutardji Calzoum Bachri yang memang dijuluki sebagai Presiden Penyair Indonesia. Sayang kedua ‘presiden' tidak sempat bertemu pada saat itu di TIM, walau keduanya sudah pernah bertemu, bulan Juni lalu, pada Parade Puisi merayakan ulang tahun pertama Harian Jurnal Nasional. Bahkan, pada kesempatan itu Presiden Republik Indonesia dan Presiden Penyair Indonesia sama-sama baca puisi. Mungkin ada yang beranggapan bahwa dunia kenegaraan dan dunia kebudayaan adalah dua hal yang terpisah, apalagi jika presidennya purnawirawan jenderal. Dunia kenegaraan dianggap hanya berkisar pada urusan politik dan administrasi pemerintahan semata, dan seorang jenderal hanya berpikir hitam putih, tentang lawan dan kawan, tentang memerintah dan diperintah. Tetapi presiden juga manusia biasa yang juga punya nilai estetika. Dan seorang jenderal pun adalah bagian dari masyarakat yang bisa menikmati, terlibat, atau bahkan memproduksi karya-karya budaya. Juga, negara tidak bisa dikungkung dalam penjara politik dan administrasi pemerintahan semata. Negara harus lebih besar dari itu. Negara juga harus terlibat dalam upaya mendorong dan mendukung pengembangan kesenian, kesusasteraan dan kebudayaan, baik dengan kebijakan maupun dengan anggaran. Tentu saja, perhatian yang personal dari presiden akan sangat membantu. Bagi Presiden SBY, kehidupan tidak bisa hanya bertumpu pada logika dan etika. Tetapi juga harus diwarnai dengan estetika. Logika adalah dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara etika menjadi dasar pengembangan kehidupan bermasyarakat dan beragama. Tetapi kehalusan budi dan rasa yang menjadi dasar dari estetika hanya bisa didapat melalui pengembangan kesenian, kesusasteraan, dan kebudayaan. Jadi, kalau dari waktu ke waktu Presiden SBY dan Ibu Negara menghadiri Pekan Kesenian Bali atau Sendratari Ramayana di Prambanan atau di Cirebon, itu bukan sekedar hiburan. Atau jika presiden di sambut dengan tarian tradisional di daerah atau menyambut tamu negara dengan pentas kesenian di Istana, itu bukan sekedar seremoni. Kalau lukisan Raden Saleh, Affandi, Sudjojono dan pelukis besar lainnya menghiasi Istana, itu adalah kebanggaan negara. Jika sesekali presiden menulis dan membaca puisi, itu cetusan jiwa seni. Tapi kalau Presiden SBY dan jubirnya sekali-sekali bernyanyi, itu memang untuk menghibur hati, menghilangkan stres, sekaligus meramaikan suasana. Andi A. Mallarangeng |