Jakarta,2 Agustus 2006
Tak Semua Bisa Menerima Informasi Awal Soal Gempa
Sirene bahaya itu sudah dibunyikan satu setengah tahun silam, tak lama setelah gempa dan tsunami melumat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dari lantai tiga gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), awal tahun 2005,
Dr Yusuf Surachman, terang mengatakan bahwa usai NAD, giliran selatan Jawa yang diintip sang murka laut.
Segepok analisis disodorkan Yusuf. Dan ia tak hendak menakuti-nakuti saat menyebut soal kemungkinan stress transfer alias perambatan energi di patahan Sumatra (Sumatra fault) yang menjalar hingga ke selatan Jawa akibat guncangan megagempa 9,3 Skala Richter (SR) di NAD.
Yusuf bertutur apa adanya saat menyebut soal sodokan lempeng Indo-Australia di ujung patahan Sumatra yang tepat terhenti di selatan Jawa Barat, sehingga membuat daerah tersebut --kini terbukti diporakporanda tsunami-- rawan guncangan gempa dalam waktu dekat.
Apa daya. Berharap ada respons positif, Yusuf malah dihujat. ''Saya dimarahi pengusaha-pengusaha hotel. Mereka khawatir kehilangan wisatawan gara-gara informasi ini,'' tutur Direktur Teknik Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT itu, Kamis (20/7), di sela-sela acara temu pakar gempa Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).
Maka, sore awal pekan ini pukul 15.19 WIB, ramalan Yusuf dan kawan-kawan soal gempa di selatan Jabar terbukti.
sejumlah peneliti lintas institusi blak-blakan mengungkap soal adanya aktivitas seismik tingkat tinggi di selatan Jawa Barat, termasuk selat Sunda --wilayah yang menghadap langsung Ibu Kota Jakarta.
''Seismisitas di selatan Jabar dalam beberapa waktu ke belakang terlihat tinggi, potensi tsunami juga cukup tinggi,'' kata pakar gempa dari Jurusan Geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Wahyu Trioso. ''Daerah ini memang sudah kritis,'' tambah Yusuf. Meski sudah diketahui kritis, kata Yusuf, tak satu pun alat di dunia yang mampu meramal kapan gempa muncul.
Kabar ini juga ditanggapi dingin pemerintah pusat dan daerah.
Yusuf meyakinkan bahwa dua gempa yang mengundang panik ratusan ribu penduduk ini, yaitu gempa 6.8 SR di Pangandaran, Senin (17/7), dan 6,2 SR di Selat Sunda, Rabu (19/7), berlangsung pada sistem yang sama. Patahan Sumatra.
Inilah pertemuan dua lempeng raksasa, Indo-Australia dan Eurasia, yang memanjang sejauh 1.650 kilometer dari Sabang hingga ke Selat Sunda, dan menjadi sumber segala guncangan kulit bumi sekaligus tsunami di Pulau Andalas, sebutan Sumatra. Patahan ini nyatanya tak cuma terhenti di Selat Sunda, tapi juga memanjang sejauh 300 kilometer di selatan Jabar hingga perbatasan Jawa Tengah.
Semuanya jadi tampak kait-mengait. Jika dirunut, kata Yusuf, gempa di NAD (2004), Nias (2005), Pangandaran (2006), hingga Selat Sunda (2006) berlangsung pada rentang patahan yang sama, yakni Sumatra fault yang menghampar dari Sabang hingga Banda.
Analisis Yusuf, daerah di selatan Pangandaran memang memiliki sedikitnya tiga patahan setinggi hingga 2.500 meter, yang bisa memicu longsoran saat gempa dan lantas menerbitkan tsunami. ''Diduga ada thrust fault baru yang meruntuhkan topografi di daerah tersebut,'' kata dia.
Gempa di Selat Sunda
Seperti halnya Pangandaran, daerah Selat Sunda termasuk yang perlu dimonitor serius. Bukan lantaran ia dekat dengan ibu kota negeri ini, DKI Jakarta, tapi juga lantaran Selat Sunda terletak pada wilayah transisi antara zona subduksi tegak lempeng di selatan Jabar dan zona subduksi miring lempeng di barat Sumatra.
Seperti halnya Pangandaran, daerah Selat Sunda termasuk yang perlu dimonitor serius. Bukan lantaran ia dekat dengan ibu kota negeri ini, DKI Jakarta, tapi juga lantaran Selat Sunda terletak pada wilayah transisi antara zona subduksi tegak lempeng di selatan Jabar dan zona subduksi miring lempeng di barat Sumatra.
Menurut Yusuf, gempa 6,2 SR yang membuat ribuan di Jakarta panik Rabu (19/7) merupakan akumulasi energi akibat tubrukan lempeng raksasa di sepanjang patahan Sumatra. Yakni lempeng Indo-Australia yang menujam tegak lurus sejauh 70 milimeter per tahun terhadap lempeng Eurasia.
Tidak diketahui pasti apakah bakal terpicu gempa lainnya di area dekat Ujung Kulon, Banten, itu dalam waktu dekat.
''Mudah-mudahan ini rilis energi terbesar dari situ, sehingga tak ada gempa yang lebih besar lagi,'' terang dia. Gempa besar terjadi kali terakhir di Selat Sunda pada 1908.
'Gedung Jakarta Tahan Gempa' Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, menjamin gedung-gedung di Jakarta dibangun dengan memperhatikan sarat ketahanan gempa. ''Dalam pemberian izin pembangunan sudah disebutkan standar teknis persyaratan gedung-gedung itu,'' kata Sutiyoso, Kamis (20/7). Sehingga, menurut dia, gedung-gedung di Jakarta relatif aman.
Menurut Direktur Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Husin Yazid, kerawanan Jakarta akan gempa tidak terlepas dari struktur tanah. Jakarta memiliki tanah berkapur dan rawa. Hal ini diperparah dengan kondisi intrusi air laut ke daratan yang memengaruhi fisik bangunan tinggi.
Menurut Husin, gedung-gedung yang memiliki tinggi lebih dari empat lantai berpotensi terkena dampak paling besar. Sehingga perlu ada penetapan perda yang mengatur izin mendirikan bangunan (IMB) gedung-gedung tinggi yang tahan gempa.
Selain itu, perlu ada audit konstruksi bangunan secara berkala yang dilakukan dinas terkait terhadap gedung-gedung tersebut.
''Sekarang ini kebanyakan bangunan tinggi tahan gempa di Jakarta hanya diperhitungkan menghadapi gempa vulkanik,'' ujar dia. Sedangkan akibat dari gempa tektonik, yang disebabkan oleh benturan lempengan kerak bumi dasar laut, belum diperhitungkan. Padahal dampak kerusakannya jauh lebih besar.
Widiadnyana Merati, ketua Tim Penasihat Konstruksi Bangunan (TPKB), mengatakan pembangunan gedung di Indonesia sudah memiliki standar nasional. Di antaranya memenuhi kriteria tahan gempa. ''Gedung-gedung dibangun dengan perhitungan gempa tektonik,'' ujarnya.
Fakta Angka
2.500 meter
Tinggi tiga patahan di selatan Pangandaran.
2.500 meter
Tinggi tiga patahan di selatan Pangandaran.
wassalam
rachmad yuliadi nasir