Jakarta, 5 September 2006
Jangan Main-main dengan Narkoba
Bahwa narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya) sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, hampir setiap orang sudah tahu. Bahwa memakai atau menggunakan narkoba haram hukumnya, masyarakat pun tidak perlu diceramahi. Bahkan masyarakat juga sudah sangat paham bahaya narkoba sama atau malah lebih besar dari korupsi dan terorisme.
Bahwa narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya) sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, hampir setiap orang sudah tahu. Bahwa memakai atau menggunakan narkoba haram hukumnya, masyarakat pun tidak perlu diceramahi. Bahkan masyarakat juga sudah sangat paham bahaya narkoba sama atau malah lebih besar dari korupsi dan terorisme.
Lebih berbahaya lantaran efek dari narkoba memang sangat mematikan. Orang yang terkena narkoba pada umumnya susah untuk kembali normal. Ia akan terus ketagihan. Hanya sedikit orang yang bisa lolos dari jeratan jahat narkoba. Itu pun setelah menjalani terapi yang sangat panjang dan dana yang tak kecil.
Bukan hanya berbahaya bagi kesehatan (kehidupan), narkoba juga sangat menguras kocek para korbannya. Satu pil atau sebungkus kecil jenis narkoba yang paling murah (jenis rendah) pun tidak kurang dari Rp 10 ribu. Bayangkan bila Anda atau anggota keluarga Anda terkena jeratan (ketagihan) narkoba, berapa besar uang harus dikeluarkan hanya demi mendapatkan bubuk atau pil narkoba. Padahal, sesuai data Badan Narkotika Nasional, di Indonesia ini jumlah pengguna narkoba lebih dari tiga juta. Anda tinggal mengalikan berapa besar uang yang dibelanjakan untuk bahan-bahan haram yang merusak ini.
Lalu, mengapa peredaran narkoba di negeri ini sepertinya susah diberantas, padahal kita sudah tahu bahaya yang diakibatkannya? Tak lain karena keuntungan bisnis narkoba sangat menggiurkan. Peredaran jual-beli bahan-bahan terlarang ini melibatkan uang miliaran atau bahkan triliunan rupiah. Tak aneh bila tak sedikit orang yang kepincut terlibat dalam bisnis ini, baik itu sebagai bandar, pengedar, maupun hanya sebagai kurir kecil-kecilan. Bahkan sering kita dengar ada warga asing yang rela memasok (jadi kurir) jenis tertentu dari narkotika ke Indonesia, meskipun harus menyimpan dalam perutnya.
Penggagalan transaksi narkotika jenis sabu-sabu seberat 966 kilogram di Teluk Naga, Tangerang, Jawa Barat, Selasa (30/8) lalu, di satu sisi jelas menggembirakan. Namun, di sisi lain juga menunjukkan betapa negeri ini sudah menjadi surga dan sekaligus sasaran empuk jaringan narkoba internasional. Perhatikan berapa besar uang yang didapat dari transaksi itu seandainya lolos. Dengan perkiraan harga satu gram sabu di tingkat bandar Rp 650 ribu, maka nilai 966 kilogram sabu mencapai Rp 627,9 miliar. Di tingkat pengecer yang saat ini mencapai Rp 1 juta setiap gram, nilai sabu tersebut akan melonjak hampir Rp 1 triliun, sebuah angka yang sungguh fantastis dan sekaligus menggiurkan.
Dengan keuntungan besar yang ditawarkan oleh bisnis narkoba seperti itu, tak mengherankan bila mereka yang terlibat di dalamnya menggunakan segala cara. Antara lain bekerja sama dengan aparat hukum dan keamanan buat melindungi bisnis mereka. Beberapa kali kita membaca berita mengenai sejumlah oknum aparat hukum dan keamanan yang terkena sanksi (hukuman) lantaran ketahuan mengambil keuntungan pribadi dari kasus-kasus yang terkait dengan narkoba. Ini yang ketahuan, yang tidak?
Harus diakui, pesatnya peredaran narkoba di negeri ini tak lepas dari dua hal. Pertama, hukuman yang kurang berat terhadap para bandar, pengedar, dan pengguna narkoba. Kedua, adanya oknum-oknum aparat yang bisa diajak 'main mata'. Aparat yang dimaksud bukan hanya polisi, tapi juga jaksa, hakim, pengacara, dan sebagainya.
Karena itu kalau kita ingin berantas narkoba, aparat harus dibenahi lebih dulu. Kedua, hukum seberat-beratnya mereka yang terlibat dengan narkoba. Jangan main-main dengan narkoba, bila tak ingin negeri ini menjadi surga buat pengedar narkoba, tapi jadi neraka bagi bangsa.
wassalam
Rachmad Yuliadi Nasir