Saturday, November 17, 2007

Kendati Berlari Sekencang Apa ....

Jakarta 28 Desember 2004

Kendati Berlari Sekencang Apa ....


Bukan cuma duka dan kesedihan yang kini harus ditanggung Rajali, warga pinggiran Lhokseumawe. Istri dan dua anaknya meninggal diterjang gempa dan tsunami yang datang tiba-tiba pada Ahad (26/12) pagi. Selain sedih, kini dia juga kebingungan untuk memakamkan orang-orang yang sangat dicintainya itu.

''Apa yang bisa saya lakukan. Saya tidak tahu di mana harus memakamkan anak dan istri saya,'' kata pria berusia 55 tahun itu. Dia tidak bisa menemukan tanah yang kering di sekitarnya untuk dijadikan tempat pemakaman. Sebagian besar tanah di sekitarnya masih tergenang. Banyaknya korban tewas di daerah itu juga membuat bau menyengat terus memenuhi udara. Selain di Lhokseumawe, jenazah para korban gempa dan tsunami juga banyak terlihat di Banda Aceh. Regu penolong kemarin terlihat mengumpulkan sedikitnya 500 jenazah. Mereka ditata di bawah terik dan ditutupi dengan plastik.

Banda Aceh lumpuh. Guncangan keras yang disusul dengan gelombang pasang tinggi meluluhlantakkan ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu. Gelombang pasang setinggi hampir 15 meter datang dengan sangat cepat dan tiba-tiba lalu menghantam semua yang dilaluinya. ''Suaranya bergemuruh keras. Orang-orang tidak sempat menyelamatkan diri. Berlari sekencang apa pun dia akan sulit lolos,'' ujar Raja, seorang warga Banda Aceh.

Menurut Raja, guncangan sangat keras terjadi Ahad (26/12) sekitar pukul 8.30 WIB. Saat itu dia sedang jalan-jalan di sekitar Simpang Lima, tidak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman. Orang-orang berlarian ke jalan untuk menyelamatkan diri sekaligus melihat apa yang terjadi. Guncangan keras yang berlangsung sekitar 10 menit itu menyebabkan toko swalayan terbesar di kota itu, Pentee Perak, roboh.

Guncangan lalu berhenti, meski masih terasa guncangan susulan yang tidak sekeras semula. Namun, belum sempat mereka memahami benar apa yang sedang terjadi, tiba-tiba suara gemuruh terdengar dari arah laut, arah muara Sungai Krueng Aceh. Mereka seperti melihat sesuatu yang menakutkan. Gelombang yang sangat tinggi, meluncur deras ke tengah kota.

Gelombang itu menghantam pasar Aceh yang sedang padat, juga jalan-jalan yang ramai. Air bah juga menjangkau bilangan Simpang Lima. Kompleks Kodam Iskandar Muda tidak luput dari hantaman, begitu juga kantor Gubernuran, dan Rumah Sakit Umum Zainal Abidin. Lebih ke utara, Kompleks Brimob di Lingke juga kena terjang. Mayat-mayat bergelimpangan. Raja menuturkan, hampir setiap jengkal ada mayat, termasuk anak-anak. Orang-orang menjadi sangat panik. Mereka yang selamat kebingungan mencari sanak-kerabatnya. ''Hingga sore tadi (kemarin) masih ada mayat yang belum terevakuasi. Banyak yang tertutup sampah,'' kata Raja yang kehilangan kontak dengan salah seorang adiknya.

Nasib memilukan dialami kantor harian Serambi Indonesia. Letaknya yang memang tidak jauh dari pantai membuatnya menjadi sarasan hebat. Raja yang sempat melihat-lihat ke daerah itu menyebut kantor itu hampir menyerupai gubuk di tengah tambak. Akibatnya, sejak kemarin koran satu-satunya terbitan Aceh itu tidak terbit. Pascagempa dan tsunami, Banda Aceh gelap gulita. Aliran listrik terputus total. Begitu juga dengan saluran telepon, termasuk sinyal selular. Para pelajar dan mahasiswa asal NAD yang kini menuntut ilmu di Semarang, Jawa Tengah, pun resah. Mereka tidak berhasil mengontak kerabatnya di kampung halaman. ''Berulang kali kami mencoba melalui ponsel. Namun, hingga kini komunikasi kami masih terputus,'' terang Zul Akbar, mahasiswa Unissula asal Banda Aceh.

Ancaman kelaparan di Banda Aceh juga beberapa daerah lain pun menguat karena aktivitas kehidupan nyaris terhenti. Harga kebutuhan pokok meroket sampai 300 persen. Harga BBM pun melonjak. Harga satu liter bensin premium bisa mencapai Rp 10.000. Itu pun sulit didapat. Sebagian warga juga masih sulit mendapatkan obat-obatan.